Teori Pemerolehan Bahasa Anak

Teori Pemerolehan Bahasa Anak - Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Anak yang baru lahir sepenuhnya belum mempunyai bahasa, tetapi pada saat anak berusia 4 atau 5 tahun, anak-anak telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi, dan gramatika yang kompleks. ada beberapa teori Pemerolehan Dalam Bahasa Anak sebagai berikut:

Teori Pemerolehan Bahasa Anak

Pandangan Nativisme

Menurut Chaer (2009:222) nativisme berpendapat bahwa selama proses pemerolehan bahasa pertama, kanak-kanak (manusia) sedikit demi sedikit membuka kemampun lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingkungan punya pengaruh dalam memperoleh bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan dengan yang disebut “hipotesis pemberian alam”. Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti “peniruan” (imitation). Jadi, pasti sudah ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah.

Chomsky dalam Chaer (2009:222) menyatakan bahwa melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi juga dengan penuh kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa (performans). Manusia tidaklah mungkin belajar bahasa pertama dari orang lain. Selama belajar mereka menggunakan prinsip-prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa.

Menurut Chomky bahasa hanya dapt dikuasai oleh manusia. Binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat ini didasarkan pada asumsi pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik); pola perkembangan bahasa adalah sama pada semua macam bahasa dan budaya (merupakan sesuatu yang universal); dan lingkungan hanya memiliki peranan kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahsa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa.

Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan bahasa” (language acquisition devis (LAD)). Alat ini yang merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari suatu tata bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk memproses bahasa, dan tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif lainnya.

Pandangan Behavioris

Menurut Chaer (2009:222-223) kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan baahsa pertama dikendalikan dari luar diri si anak, yaitu rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris dianggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, sesuatu yang dimiliki atau digunakn, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan salah satu perilaku diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior) agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain yang harus dipelajari.

Menurut kaum behavioris kemampuan berbicara dan memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalm proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, malah juga tidak mengakui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya.

Menurut Skinner dalam Chaer (2009:223) kaidah gramatikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukanlah karena “penguasaan kaidah (rule-governed)” sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.

Brown dalam Suhartono (2005:8) menyatakan “the extreme behavioristic position would be that the child comes into the world whith a tabularasa or about language, and this child is then shaped by his environment slowly conditioned through various chedule of reinforcement ”. Anak yang lahir ke dunia ini seperti kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan membentuknya yang perlahan-lahan dikondisi oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah lakunya. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya seperti orang yang belajar mengendarai sepeda.

Bahasa adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang mendasar yang berkembang sejak anak lahir. Menurut Pateda (1990:45) bahasa merupakan seperangkat kebiasaan yang diperoleh melalui proses belajar, sedangkan faktor bawaan hanyalah merupakan potensi herediter.

Dari uraian diatas maka dapat dipahami bahwa menurut aliran behavioristik ini bahwa anak yang dilahirkan ke dunia ini tidak mempunyai potensi bahasa. Lingkungan dan proses belajarlah yang menjadi dasar pemerolehan bahasa anak.

Pandangan Kognitivisme

Kajian tentang teori kognitif bertitik tolak pada pendapat bahwa anak dilahirkan dengan kecenderungan untuk berperan aktif terhadap lingkungannya, dalam memproses suatu informasi, dan dalam menyimpulkan tentang struktur bahasa. Pendekatan kognitif yang melahirkan teori kognitif dalam psikolinguistik ini memandang bahasa lebih mendalam lagi.

Penganut behavioris berpendapat bahwa hanya data yang dapat diindera yang dapat diketahui, maka penganut teori kognitif beranggapan bahwa struktur serta proses lingustik yang abstrak mendasari produksi dan komprehensi ujaran.

Piaget dalam Chaer (2009:223) menyatakan bahwa bahasa itu bukanlah sesuatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu diantara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar, maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan perkembangan bahasa.

Piaget dalam Chaer (2009:224) juga menegaskan bahwa struktur yang kompleks dari bahasa bukanlah sesuatu yang diberikan oleh alam, dan bukan pula sesuatu yang dipelajari dari lingkungan. Struktur bahasa itu timbul sebagai akibat interaksi yang terus-menerus antara tingkat fungsi kognitif si anak dengan lingkungan kebahasaannya (juga lingkungan lain).

Struktur itu timbul secara tak terelakkan dari serangkaian interaksi. Oleh karena timbulnya tak terelakkan, maka struktur itu tidak perlu tersediakan secara alamiah. Menurut Piaget dalam Dhieni, dkk. (2007:2.15) berpikir merupakan sebagai prasyarat berbahasa, terus berkembang sebagai hasil dari pengalaman dan penalaran. Perkembangan bahasa bersifat progresif dan terjadi pada setiap tahap perkembangan. Perkembangan anak secara umum dan perkembangan bahasa awal anak berkaitan erat dengan kegiatan anak, objek, dan kejadian yang mereka alami dengan menyentuh, mendengar, melihat, merasa, dan membau. Anak mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran, dan perasaannya melalui bahasa dengan kata-kata yang bermakna unik. Keterampilan anak memahami bahasa sebagian besar terbatas pada pandangannya sendiri.

Dengan kata lain, anak memiliki keterbatasan dalam memahami bahasa dari sudut pandang orang lain. Meningkatnya perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis. Perkembangan simbol bahasa pada anak berpengaruh terhadap kemampuan anak untuk belajar memahami bahasa dari pandangan orang lain dan meningkatkan kemampuannya untuk memecahkan persoalan.