Kolaborasi Merupakan Suatu Keniscayaan

Salah satu hikmah besar dibalik musibah pandemi covid-19 dalam dunia pendidikan adalah kita telah “dipaksa” untuk menggunakan TIK untuk pembelajaran. Pembelajaran berbasis TIK di era pandemi menunjukkan dinamika yang luar biasa.

Pada satu sisi hal tersebut merupakan berkah, pencapaian yang luar biasa dibanding upaya sosialisasi pemanfaatan TIK yang sudah dilaksanakan bertahun tahun. Di sisi lain, bagi para guru, siswa, serta stakeholder pendidikan lainnya, pengalaman BDR, telah memberikan pengalaman yang beragam yang memperkaya khasanah teori dan praktek pembelajaran dengan TIK.

Hal tersebut merupakan suatu kekuatan yang dahsyat apabila bisa disinergikan. Misalnya, pengalaman masing-masing guru dalam melakukan BDR berbeda-beda, ada yang merasa berhasil, setengah berhasil, bahkan di beberapa tempat tidak berdaya, sehingga kembali ke cara konvensional dengan kunjungan ke rumah siswa.

Agar pengalaman-pengalaman tersebut menjadi lebih bermakna, maka “berbagi” dan “berkolaborasi” merupakan suatu keharusan bagi para pelaku pendidikan. Dengan berbagi dan berkolaborasi, para pelaku pendidikan bisa saling belajar, saling mengisi dan melengkapi, yang menimbulkan sinergi.

Pembelajaran secara kolaboratif memungkinkan banyak memberikan nilai tambah, baik bagi siswa maupun bagi guru. Keuntungan-keuntungan tersebut antara lain;

  1. Siswa mendapatkan pengalaman bekerjasama bukan hanya dengan sesama teman sekelasnya, namun dengan siswa lain yang sebelumnya belum mereka kenal,
  2. Dalam pembelajaran kolaborasi, interaksi antar siswa yang baru mereka kenal menjadi terarah karena mengikuti program yang sudah direncanakan oleh guru,
  3. Kegiatan yang bersifat kolaboratif biasanya akan mendorong motivasi dan semangat kompetitif dalam arti positif bagi siswa,
  4. Siswa juga mendapatkan sumber belajar yang banyak dari guru selain guru sekolahnya sendiri yang selama ini mereka kenal.

Di samping keuntungan-keuntungan tersebut, tentu masih banyak nilai lebih lainnya, baik yang langsung maupun yang tidak langsung.

Inisiatif pembelajaran kolaboratif berbasis internet sudah diujicobakan pada tahun 2005-2006 pada portal pembelajaran edukasi.net (sekarang Rumah Belajar).

Waktu itu internet di sekolah masih sangat terbatas, sehingga hanya beberapa orang guru dari lima sekolah yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia dapat mengikuti aktivitas pembelajaran secara kolaboratif.

Salah satu tema yang diangkat pada waktu itu adalah tentang kebakaran hutan. Tema ini menarik karena di wilayah Sumatera dan Kalimantan waktu itu sedang banyak terjadi kebakaran hutan. Dengan kolaborasi ini, siswa yang berada di Jakarta (Jawa) menjadi memahami tentang peristiwa kebakaran hutan, sedangkan siswa Kalimantan dan Sumatera juga dapat bertukar informasi peristiwa tersebut yang ternyata peristiwa kebakaran hutan tersebut di setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda.

Peluang terlaksananya pembelajaran kolaboratif saat ini tentu sangat terbuka luas. Infrastruktur dan jaringan TIK di sekolah umumnya sudah lebih siap dibanding sepuluh tahun yang lalu.

Demikian juga kesiapan guru-guru dalam pengembangan model-model pembelajaran inovatif, saat ini guru yang memiliki kemampuan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran sudah cukup banyak.

Survei yang dilakukan oleh Pustekkom tahun 2018, sekitar 40% guru (non TIK) telah mampu memanfaatkan TIK dalam pembelajaran (Republika, Gogot Suharwoto, ISODEL 2018). Tahun ini hampir bisa dipastikan sudah di atas 50% guru memiliki kemampuan memanfaatkan TIK untuk pembelajaran.

Apalagi kalau melihat trend kenaikan peserta lomba Pembatik yang naik lebih dari 1000 persen dari 6.809 peserta di tahun 2018 menjadi 70.312 peserta di tahun 2020 (Hasan Chabibie, 2020). Data tersebut menunjukkan sisi optimis pemanfaatan TIK oleh guru yang semakin meningkat.

Sumber : gurubelajardanberbagi.kemdikbud.go.id